0

Jangan Boikot Jilbabku

Oleh: Fida Hafiyyan Nudiya

Panas terik diterpa angin sepoi-sepoi menghinggapi langit sekolah kami yang biru. Nasib mendapat jadwal pelajaran olahraga di siang hari, batinku. Hari itu merupakan hari pertamaku menjadi siswi berseragam putih abu-abu. Ketika teman-teman sekelasku mengganti seragam mereka dengan pakaian olahraga, akupun mengganti dengan pakaian olahraga yang kudesain sendiri. Yaitu busana olahraga berbentuk jilbab (gamis), lengkap dengan identitas sekolah dan warna yang sama persis dengan almamater sekolahku.

Di koridor semua pandangan tertuju padaku, bak artis kesohor berkeliaran seketika banyak ‘wartawan’ dadakan mewawancaraiku. Karena buru-buru, aku hanya menjawab pertanyaan mereka sekenanya. Kulihat di lantai dua beranda sekolahku, banyak siswa kelas 11 dan 12 berkumpul melihat ke-arah lapangan yang berbentuk kotak di tengah susunan kelas-kelas. Riuh gemuruh layaknya ada pertunjukan sirkus dadakan, bahkan para siswa yang masih bersembunyi di dalam kelaspun bergerombol keluar ketika kawan mereka memanggilnya. Kurasa hari ini aku membuat pemandangan yang tidak biasanya di sekolah ini, mungkin kali ini pertama kalinya ada seorang siswi baru yang berolahraga tanpa mengenakan celana panjang. Dengan santai kulangkahkan kaki menuju lapangan dengan teman-temanku.

Bismillah kuazzamkan dalam hati, bertekad untuk tidak lepas pasang hijab seperti sebelumnya, juga berusaha menyempurnakannya dengan gamis syar’i. Siang itu aku dan kawan-kawan sekelasku mulai berkumpul di lapangan dan melakukan pemanasan dengan keliling lapangan sebanyak tiga kali, tak lama kemudian pak guru mulai mengabsen kami satu persatu. Tiba saat giliran namaku dipanggil pada nomor urut 13, akupun mengangkat tangan. Pak guru yang sedang mencatat tiba-tiba menghentikan gerakan penanya, kumis tebalnya mulai terangkat dan mengarahkan tatapannya dengan lekat menuju arahku.

“Kamu, mengapa memakai rok seperti itu?” Tanyanya dengan nada yang cukup tinggi.
“I.. iya, Pak. Maaf sebelumnya jika pakaian saya sedikit berbeda, tapi saya berusaha menjalankan kewajiban saya sebagai muslimah dengan memakai jilbab. Saya juga tetap memakai celana panjang dibalik pakaian ini.” Ujarku pelan dengan perasaan yang mulai gemetar. Jujur saja, ini pertama kalinya aku ‘nekad’ untuk pakai jilbab saat olahraga.
“Dari SMP mana kamu sebelumnya, siapa guru olahragmu?” Nadanya terdengar semakin meninggi, kulitnya yang gelap tampak merah padam.
“Dari SMP 1, Pak. Guru saya sebelumnya pak Budi (nama samaran).” Ucapku pelan, tanganku mulai berkeringat. Rabbi, aku harus berkata apa untuk menjelaskan kepada beliau?
“Saya tidak mau tahu. Pokoknya jika ingin mengikuti pelajaran saya, kamu harus pakai training di luar. Jika tidak, silahkan kembali ke kelas dan jangan mengikuti pelajaran saya!” Ucapnya dengan nada keras dan agak berteriak, spontan badanku berbalik arah menuju ruang kelas. Gerimis semakin deras di hatiku, pipiku mulai terasa hangat oleh air mata yang mengalir begitu saja.
Dua orang sahabatku merangkul dan mengantarkanku ke kelas, mereka mengelus bahuku dan berkata,
“Sabar ya, mungkin kamu memang harus melepas gamis itu saat olahraga saja.”
“Iya, mungkin belum waktunya kamu bisa pake yang kayak gitu.” Aku masih menangis sesenggukan.
“Makasih ya, kalian sahabat terbaikku. Tapi aku belum bisa kalau harus ngelepas ini. Gak apa-apa aku sendiri dulu, kalian balik ke lapangan aja gih.” Ujarku sambil tersenyum tipis pada mereka.

Di kelas aku merenung seorang diri, begini ya rasanya ditentang pakai hijab syar’i. Tapi hatiku terasa lebih tenang, karena guru ngajiku pernah bilang kalau taat kepada Allah itu jauh lebih menenangkan hati. Aku juga berdoa, semoga suatu saat guru olahragaku bisa paham dan mengizinkanku ikut pelajarannya.
Lima belas menit kemudian, ketua kelasku datang dan memberitahu jika pak guru memanggilku untuk menghadapnya. Sedikit deg-degan aku mengikuti langkahnya dari belakang. Saat aku sudah berada dihadapan pak guru, kuperhatikan rona wajahnya tampak lebih cerah. Senyum terukir di bibirnya, kumis tebalnya terangkat ke kanan dan kiri.

“Bapak mau nanya, apa dengan pake rok begitu kamu gak akan kesulitan bergerak?” Tanyanya dengan nada yang jauh lebih tenang dari sebelumnya. Kepercayaan diriku muncul lagi.
“Insya Allah tidak sama sekali Pak, karena rok ini lebar.” Aku sedikit membentangkan gamis olahraga bagian bawah.
“Baiklah jika kamu yakin akan hal itu, saya izinkan kamu ikut pelajaran saya. Saya ingin pastikan, jika ada apa-apa saya gak tanggungjawab ya.”
“Beneran Pak?” Mataku berbinar-binar, senyumku berkembang. Ia mengangguk. Horeeee, ingin rasanya aku loncat dan teriak untuk berterimakasih sama Allah. Teman-teman menyelamatiku dan menghiburku. Baca lebih lanjut