Oleh : Fida Hafiyyan Nudiya
Assalamu’alaikum. Teman-teman tim penulis kota Jogja, apa kabar? Semoga semua berada dalam lindungan Allah SWT ya. Sesuai janji, insya Allah malam ini kita akan sharing tentang menulis. Disini saya gak akan ngasih ilmu ataupun tips dan trik tentang menulis, penulis pemula kayak saya rasanya belum pantas.. Hehehe. Insya Allah teman-teman juga udah pada jago, terbukti dari tulisan-tulisannya yang sering tayang 🤗🤗
Sedikit sharing pengalaman saja. Awal mula tertarik dengan dunia menulis saat saya duduk di bangku SD. Dulu sekolah di SDI yang mata pelajarannya sangat padat, setiap hari pulang sore. So, saya sering membunuh rasa jenuh itu dengan baca novel-novel remaja karya Asma Nadia, HTR, Adzimatinur Siregar, dan sebagainya. Sering juga menulis cerpen, novel atau sekedar menulis diary. Biarpun isinya cuma curcol-curcol kejadian di sekolah, pertemanan dan sebagainya. Dulu belum ada gadget kayak sekarang, nulis juga kalau gak tulisan tangan kadang diketik pakai mesin tik jadul. Lalu dikeliping. Hehe.
Ketika mulai ngaji, sekitar pertengahan kelas 2 SMP. Lagi semangat-semangatnya sama teman, wara-wiri ngikut kajian. Mulailah pikiran sedikit terbuka. Kebetulan di Bandung, semua syabah diwajibkan untuk menulis. Sebisanya, sejelek-jeleknya. Gak pandang tua, muda. Mau remaja, mahasiswa, ibu-ibu, bahkan nenek-nenek harus nulis minimal sebulan sekali. Padahal belum ada gadget, komputer dan laptop juga masih jarang yang punya. Tapi melihat gigihnya emak-emak pada nulis di tengah kerempongannya, kami yang gadis jadi tertampar.
Dulu tiap nulis SP cuma tulis tangan di selembar kertas, terus tiap setor ke tentor dicorat-coret udah kayak skripsi. Terus disuruh revisi. Habis revisi, setor lagi ternyata masih dicorat-coret juga. Setelah tulisan dirasa perfect, barulah pulang sekolah saya mampir ke rental komputer untuk ngetik dan ngeprint. Kemudian dikirim via pos pakai perangko. Ternyata buah dari ‘coretan sadis’ itu, tak jarang tulisan saya dimuat di harian lokal Jawa Barat. SMS dari para haters pun banyak yang masuk, meski ada juga yang mengapresiasi. Masih pelajar SMA kok sudah berani mengritik pemerintah, berani betul. Komen seseorang lewat pesan singkat. Pernah juga suatu hari, seorang wartawan senior dari harian Pikiran Rakyat menelepon saya. Menawarkan mengadakan pelatihan menulis di sekolah saya, untuk menjaring kontributor-kontributor junior.
Kemudian tahun 2010 saya memasuki dunia kampus. Di tengah kesibukan kuliah, tugas dan dakwah kampus, kami juga tetap diwajibkan menulis minimal 2 minggu sekali. Kami juga harus mengoreksi tulisan adik-adik pelajar, yang juga diwajibkan mengirim tulisan secara rutin. Bahkan di kampus, tidak segan-segan diberikan sanksi dan bimbingan khusus apabila ada yang lalai menulis dan mengirim ke media. Alhamdulillah kami jadi terbiasa mengomentari tulisan satu sama lain, bahkan terkadang rubin mendadak heboh jika ada tulisan salah satu dari kami yang tayang.
Suatu ketika di tahun 2015 saya mengikuti kompetisi menulis dengan mbak Rindyanti Septiana. Alhamdulillah naskah saya lolos 50 besar dan dibukukan sebagai antologi yang berjudul Bidadari Pelukis Dunia. Sejak saat itu saya jadi mengevaluasi diri bahwa tulisan saya harus semakin berkualitas dan berbobot. Akhirnya pada bulan April kemarin bertemu dengan komunitas legendaris yaitu Revowriter, dari sana saya belajar dan terus belajar. Ups, jadi promosi 😅
Dari Revowriterlah saya sadar bahwa menulis adalah seni menyampaikan kebenaran (Asri Supatmiati). Bagaimana tulisan-tulisan kita bisa menjadi amal jariyah yang pahalanya terus mengalir, jika diniatkan untuk kebaikan. Terlebih saat ini era digital sudah semakin canggih, hampir setiap menit berbagai informasi hilir mudik di gadget kita. Mulai dari tulisan berbobot sampai hoax. Berbagai kalangan mulai dari para liberalis, sekuleris, komunis, politisi, birokrat. Rata-rata menyampaikan pemikirannya melalui tulisan.
Sekarang gak harus susah-susah mendatangi toko buku, lapak pedagang koran dan majalah. Tinggal satu kali sentuh, semua bisa diakses jutaan orang. Di barisan manakah kita akan berdiri? Apakah hanya menjadi penikmat tulisan-tulisan orang lain, yang belum tentu kebenarannya. Atau berkontribusi agar informasi yang berseliweran di media salah satunya adalah karya kita? Karya para mufakkirun siyasiyun.
Mengutip sebuah adagium dari Pramoedya Ananta Toer, “Orang boleh Setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis ia akan hilang dalam masyarakat dan sejarah. Menulis adalah bekerja dalam keabadian”. Jika orang sekuler saja begitu bersemangat, maka kita yang pengemban dakwah ideologis jangan mau kalah. Insya Allah ide menulis itu berseliweran dimana-mana. Bisa di rumah, di jalan, di kampus, bahkan di dapur. Tinggal fokuskan 1 tema saja, perdalam, kemudian bedah habis-habisan dan jangan ngalor-ngidul. Insya Allah amunisi tsaqafah yang kita cerna setiap minggunya akan menjadi nutrisi bergizi yang menyehatkan bagi tulisan-tulisan kita. Semangat menulis, semangat menebar seni menyampaikan kebenaran.
Disampaikan pada forum sharing Tim Penulis Kota Jogja
18 Agustus 2018
#Latepost