Dilema Jobseeker dan Pengemban Dakwah

Sudah menjadi hal yang lumrah di kalangan masyarakat hari ini jika seseorang telah tuntas merampungkan tanggungjawab akademisnya atau dengan kata lain telah lulus menjadi sarjana, maka langkah selanjutnya adalah mencari pekerjaan (lebih tepatnya penghasilan kali ya–red). Tidak jarang mereka berkeliling dari satu instansi ke instansi lainnya dengan membawa setumpuk berkas lamaran kerja yang biasa diminta oleh suatu instansi atau perusahaan sebagai syarat pertimbangan. Seiring menjamurnya para pencari kerja (jobseeker), bermunculanlah berbagai bursa kerja, career day, job expo, dan lain sebagainya sebagai ajang yang tidak pernah sepi diburu oleh para jobseeker ini. Mulai dari lulusan-lulusan baru (fresh graduate), hingga yang sudah cukup lama lulus namun belum mendapat pekerjaan.Seiring besarnya tuntutan kerja dan pemenuhan kebutuhan ekonomi, tidak sedikit para jobseeker yang meng-apply ke instansi atau perusahaan baik yang berhubungan dengan bidang keahlian mereka di bangku kuliah atau bahkan yang tidak berhubungan sama sekali. Misal, lulusan pertanian atau peternakan tapi melamar ke perbankan sebagai teller, lulusan Teknik Informatika tapi melamar ke perusahaan finansial, atau lulusan Pendidikan Bahasa Jerman tapi melamar ke perusahaan telekomunikasi sebagai call center. Mungkin yang tergambar di benak mereka, bagaimana pekerjaan itu berada di genggaman tangan mereka dulu. Urusan ke depannya, we will see 🙂

job

Nah, bagaimana dengan nasib kita yang juga mengemban amanah sebagai seorang pengemban dakwah? Sebagaimana kita pahami, dakwah merupakan sebuah aktivitas mulia yang Allah SWT bebankan pada pundak setiap muslim yang mukallaf (telah terkena taklif hukum–red). Saking pentingnya aktivitas dakwah ini, sampai-sampai Rasul mencela siapa saja yang tidak mengamalkannya. Sebagaimana sabda Rasulullah saw, “Barangsiapa yang tidak peduli dengan urusan kaum muslimin, maka ia bukanlah bagian darinya.” (HR Hakim dan Thabrani). Dakwah tentu harus menjadi poros hidup seorang muslim, artinya dakwah merupakan aktivitas utama disamping aktivitas-aktivitas lainnya.

Namun realitas hari ini berbicara bahwa tidak dapat dipungkiri pemenuhan kebutuhan hidup (ma’isyah) juga diperlukan, terutama bagi para sarjana yang belum berumah tangga tentu tidak ingin membebani orangtua lagi. Meski kita sama-sama memahami bahwa tidak ada kewajiban bagi perempuan untuk bekerja mencari penghasilan, namun tidak ada salahnya jika mereka ingin bekerja selama tidak melalaikan kewajibannya sebagai seorang anak, dan hamba bagi penciptanya. Dalam tulisan ini, penulis ingin share mengenai beberapa realita yang terindra atau pengalaman penulis sendiri dalam upaya pencarian kerja ini.

Pertama, suatu ketika penulis mendapat panggilan untuk tes untuk seleksi di sebuah perusahaan Farmasi terbesar di Indonesia sebagai store supervisor. Dalam sheet terakhir dari rangkain tes tersebut terdapat pertanyaan-pertanyaan yang cukup menentukan diterima atau tidaknya untuk bekerja di perusahaan tersebut, diantaranya “bersedia/tidak jika selama kontrak 18 bulan pertama, ijazah ditahan di perusahaan dan bersedia membayar penalti jika mengundurkan diri sebelum masa kontrak berakhir”, kemudian “bersedia/tidak untuk bekerja dengan sistem shifting, dengan shift terakhir sampai pukul 21.30 WIB dan hanya mendapat libur 1 hari perpekan serta tidak libur di waktu weekend dan tanggal merah”, “bersedia/tidak untuk tidak menikah dan hamil selama masa kontrak, silahkan tuliskan target kapan anda menikah (untuk yang masih single)”, “jika anda aktif dalam sebuah organisasi keagamaan, bersediakah jika perusahaan menghendaki anda keluar dari organisasi tersebut”, bahkan ada satu pertanyaan yang paling mengejutkan, “bersedia/tidak untuk TIDAK MENGENAKAN PAKAIAN KEAGAMAAN selama bekerja”. Allahu akbar, apa hubungannya antara kerja sebagai supervisor dengan pakaian keagamaan (jilbab dan kerudung–red)?

Kedua, suatu ketika seseorang mendapat panggilan interview dari sebuah anak cabang perusahaan telekomunikasi terbesar di Indonesia sebagai call center/tellemarketing. Dalam penjelasan singkat yang diberikan oleh seorang staf personalia mengenai gambaran jobdesk dan waktu yang akan dilakukan, antara lain waktu bekerja yang harus dijalani dengan sistem shifting dari pukul 06.30 hinggal 21.00 WIB, dan sewaktu-waktu tanpa libur di waktu weekend maupun tanggal merah. Oh Rabbi, kapan waktunya untuk mengkaji Islam, dan melaksanakan deretan kewajiban lainnya?

Tentu pertimbangan besar bagi seorang muslim adalah sejauh mana waktu mereka dihabiskan untuk menyibukkan diri dengan dakwah, kalaupun ingin bekerja pilihlah pekerjaan yang tidak menyita banyak waktu demi mengejar materi. Mungkin sementara waktu, pilihan terbaik adalah dengan mengajar les/bimbel atau membuat bisnis rumahan. Meski penghasilan yang didapat tidak akan semenjanjikan menjadi karyawati di perusahaan-perusahaan ternama, walau bagaimanapun waktu tidak akan dapat ditukar dengan uang. Wallahu a’lam.[]

Tinggalkan komentar