Jeritan Hati Emak-Emak (Angkringan Mbak Sumi #1)

Oleh : Fida Hafiyyan Nudiya

Pagi buta, sekitar pukul 3 pagi. Mbak Sumi dibonceng suaminya, Mas Taryo, berangkat menuju pasar tradisional dengan mengendarai motor bebek tua warisan almarhum bapaknya. Rutinitas ini dilakukan setiap hari, menembus dinginnya udara pagi demi membeli bahan-bahan baku untuk jualannya pagi ini.

Sesampai di pasar, Mbak Sumi memilih-milih bahan yang baik dengan harga yang pas di kantong. Sementara Mas Taryo mengintil dari belakang, membawakan keranjang belanja istrinya.

“Telur berapa sekilo, Bu?” Tanya mbak Sumi sambil memilih-milih telur yang bersih.

“30 ribu e, Mbak. Saiki mundak” jawab Bu Tarsih, pemilik lapak telur yang sudah menjadi langganan Mbak Sumi.

“Lha, kok larang banget e Bu. Biasanya gak pernah sampai 20 ribu tho?”

“Iya e, dari sananya sudah mahal. Lha, aku ki bingung arep ngejual piro.” Seketika raut muka Bu Tarsih agak melesu

“Saiki apa-apa yo larang, Bu. Kemarin BBM naik, gas naik, sampai-sampai telur pun naik.” Sahut mbak Sumi sambil memasukkan beberapa butir telur kedalam keranjang belanjanya.

“Ah, nggeh. Sik pusing bakule, karo pelanggane” timpal Bu Tarsih dengan bahasa Jawa yang kental.

Tiba-tiba datang Pak Sosro yang mengangkut beberapa karung beras dari mobil bak terbuka.

“Niki berase, Bu.” Ujar pak Sosro pada Bu Tarsih yang sedang memasukkan beberapa barang belanjaan Mbak Sumi

“Pinten,_ pak?”

“Regane mundak 50 ribu perkarung Bu, nyuwun sewu”

“Oalaah, sama-sama mahal sama telur Ki.” Timpal Bu Tarsih sambil geleng-geleng. Setelah menerima uang dari Bu Tarsih, pak Sosro yang seorang penyuplai beras pun segera pamit.

“Sabar nggih bu, sekarang memang zamannya apa-apa mahal. Begitulah jika kita hidup di zaman serba materialistis, orang-orang yang ada di atas sana mbok ya cuma mikirin dirinya sendiri. Ndak inget sama wong cilik.” Ujar Mbak Sumi lembut

“Ah, nggeh. Gilirane wong-wong asing malah dibebaske nggo menguasai kekayaan alam kita, kayak opo jenenge? Free.. Freeport apa ya. Sing digondol asing, wis suwi banget. Tapi rakyate malah dikasih apa-apa mahal.” Lirih Bu Tarsih.

“Iya Bu, Freeport” timpal Mas Taryo yang sedari tadi menyimak percakapan istrinya dan pedagang di pasar itu.

“Iya ya, Bu. Padahal Allah ngasih kekayaan alam itu buat kesejahteraan kita semua, tapi nek dikelolanya gak pake aturan pencipta ya gini jadinya. Manusia ki sudah banyak yang merasa lebih tahu tentang segalanya, sampai-sampai wegah diatur pake aturan Gusti Allah. Padahal aturan Gusti Allah pasti adil buat kita semua.”

“Iya, mbak. Pengen rasane jambak rambut wong-wong sik diatas kae.”

“Hehe.. Mugo-mugo suatu saat Allah kasih kita pemimpin yang adil, mau menerapkan aturan Allah.” Tukas Mbak Sumi

“Aamiin ya Allah”

Kemudian mbak Sumi melirik jam dinding yang terpampang di kios Bu Tarsih, jam sudah menunjukkan pukul 04.15.

“Bu Tarsih, kulo pamit nggeh. Sudah mau subuh, masih mau racik-racik juga. Jadi berapa total semuanya?”

Setelah membayar semua belanjaannya, Mbak Sumi dan suaminya pamit menembus dinginnya udara pagi di kota Jogja. Bersiap menunaikan titah Sang Khaliq, dan meracik masakan untuk dijajakan di angkringan pagi harinya.

Pagi harinya, ketika sedang menata aneka macam gorengan, lauk-pauk dan nasi kucing. Mbak Sumi dan Mas Taryo terperangah melihat rombongan ibu-ibu yang datang dari arah selatan. Mereka membawa aneka macam peralatan dapur seperti panci, wajan, spatula, dan poster tulisan tangan bertuliskan “Turunkan harga, atau Elo yang turun”

Kemudian salah seorang ibu menghampiri angkringannya,

“Mbak Sumi, sego kucingnya 50 bungkus ya. Tambah gorengan campur.” ujar Bu Maryam yang sepertinya bertugas memimpin rombongan.

“Wah, wah. Ramai banget, mau pada kemana nih Bu?” Tanya mbak Sumi

“Kita mau ke Jakarta, mbak. Aksi di depan Istana Merdeka.”

“Wah, luar biasa semangatnya nih ibu-ibu. Gak kalah sama mahasiswa. Hehe.” Canda Mbak Sumi sambil memasukkan bungkusan nasi kucing kedalam tas kresek.

“Iya. Kalau bukan kita para ibu-ibu, sopo meneh, Mbak? Ngarepke mahasiswa, mbuh kapan.”

“Leres, Bu. Ibu-ibu juga harus semangat dalam membela kebenaran, menuntut haknya sebagai rakyat yang harus disejahterakan. Bukan cuma tugas mahasiswa.”

“Iya, harus semangat. Diniatke kanggo ibadah, minta ridho gusti Allah. Ayo, ikut Mbak!” Ajak Bu Maryam

“InsyaAllah lain waktu, nggeh. Saya ketinggalan info nih, jadi belum persiapan apa-apa. Hehe. Tapi saya doakan dari sini ya Bu, semoga segala perjuangan dan pengorbanan ibu-ibu ke Jakarta dicatat sebagai amal shalih.” Mbak Sumi menyerahkan kresek hitam besar berisi pesanan bu Maryam

“InsyaAllah, Mbak. Pangestunipun. Pareng, nggeh.” Tukas Bu Maryam, seraya berlalu dari hadapan Mbak Sumi dan berjalan menuju rombongan yang sudah siap di area alun-alun kidul.

Menanti bus yang akan mengantarkan mereka ke Jakarta, menyuarakan tuntutan atas ketidakadilan penguasa.

Saat ini, dimana rezim Kapitalisme berkuasa. Ummat bukan lagi prioritas mereka dalam kesejahteraan, melainkan para kapitalis asing yang terus mereka beri ‘penghidupan’. Rakyat terus menjadi bulan-bulanan korban kesewenang-wenangan pemerintah. Jika bukan ummat yang selalu menasehati pemerintah, dalam rangka amar ma’ruf nahi mungkar. Mungkin para pejabat diatas sana tidak akan pernah menyadari kesalahan mereka.

Alhamdulillah wa syukurillah, Allah mengetuk hati nurani para ibu. Sehingga masih banyak yang menyadari bahwa kondisi kita hari ini tidak sedang baik-baik saja, dan harus bergerak melakukan amar ma’ruf nahi mungkar kepada pemegang tanggungjawab ummat. Semoga Allah melindungi mereka yang berada di jalan kebenaran, dan membalasnya dengan surga.

End

Tinggalkan komentar