Kurelakan dia Demi Sahabatku

Hujan rintik-rintik menemani sore hari di langit kampus Jatinangor, angin berkelebat semakin kencang. Para mahasiswa yang baru turun dari angkutan umum kampus berlarian menghindari rintik hujan yang perlahan membasahi tubuh mereka, sebagian menepi mendekati halte beratap mungil. Sebagian yang lain memenuhi pelataran ATM centre yang juga beratap mungil. Mobil-mobil kecil yang telah seharian menunaikan kewajibannya dalam mengantarjemput para mahasiswa ke berbagai fakultas, segera melarikan diri ke garasi parkir. Pertanda bahwa waktu perkuliahan telah usai.

Namun aku dan sahabatku, Syahnaz tidak segera pulang. Kami melangkahkan kaki ke masjid Ibnu Sina terlebih dahulu untuk menunaikan shalat ashar yang sempat tertunda, kebetulan jadwal praktikum hari ini kurang begitu bersahabat. Kuangkat sedikit ujung gamisku agar tidak terkena tanah yang basah. Masjid Ibnu Sina merupakan salah satu tempat favorit kami di kampus, tempat itu begitu luar biasa. Bukan sekedar tempat shalat, namun juga menjadi pusat kegiatan kerohanian terbesar di kampus ini yang telah melahirkan ribuan kader dakwah yang solid dan militan sejak awal berdiri hingga saat ini.

Usai shalat ashar, kami menuruni masjid yang posisinya berada di atas bukit tersebut menuju ke ruang sekretariat Pemilihan Raya Mahasiswa. Saat itu di kampus kami memang sedang ramai akan diadakan event akbar tahunan mahasiswa, yaitu Pemilihan Raya Mahasiswa untuk menentukan Presiden Mahasiswa periode berikutnya. Aku dan sahabatku tergabung dalam kepanitiaan akbar tersebut, aku diamanahi sebagai ketua umum Panitia Pengawas Pemilu. Serta sahabatku Syahnaz menjabat sebagai Koordinator bidang pengawasan. Aku pun mulai memimpin rapat sore itu. Beberapa hari belakangan, aktivitas kami sangat padat, rapat bisa selesai hingga malam. Seringkali kami menginap di kost-kostan  milik teman, karena kami setiap hari pulang-pergi ke rumah orangtua.

Senja menyapa, rintik hujan mulai berubah menjadi deras. Seorang pemuda berpostur tinggi sekitar seratus delapan puluh sentimeter dan agak kurus datang tergopoh-gopoh. Rambut ikal dan sebagian jaketnya terlihat basah kuyup. Kami berlimabelas serentak mengalihkan pandangan pada lelaki itu.

“Mohon maaf, saya terlambat. Tadi ada ujian.” Ujarnya pelan dengan ekspresi wajah datar.

“Baik, silahkan bergabung.” Ujarku sebagai pemimpin forum.

Rapat terus berlangsung dan berakhir seiring dengan berkumandangnya adzan Maghrib, namun setelah maghrib rapat masih terus dilanjutkan hingga Isya. Agenda pembahasan kami hari itu cukup padat.

***

“Re, cowok yang tadi malem sekonyong-konyong datang rapat tuh siapa?” Tanya Syahnaz kepadaku sambil mengunyah roti bakar kesukaannya.

“Dia Galih, anak HI 2009.  Panwas juga, tapi belum pernah datang” Jawabku sedikit terkekeh.

“Ya ampun, jadi dia orangnya, kemana aja tuh? Kepanitiaan udah berjalan segini jauhnya, eh dia baru nongol!” Syahnaz mendengus kesal, sahabatku sejak SMP itu memang tipikal orang yang blak-blakan.

“Hihi.. Sabar. Kemarin habis rapat, dia ngajak gue ngobrol empat mata. Dia minta maaf, karena kesibukannya sebagai ketua Hima HI  yang bikin dia gak pernah datang rapat ataupun terlibat pengawasan di lapangan. Tapi dia janji, mulai saat ini bakal ngusahain datang terus n banyak terlibat di kepanitiaan ini”. Jawabku memberinya secercah harapan.

“Ya, tapi kan setidaknya dia bisa ngabarin loe lewat SMS atau telepon, kek. Kesannya kan gak menghargai ketua.” Ujar Syahnaz masih agak kesal

“Hmm.. Dia bilang, dia bingung harus ngontak siapa. Soalnya dia belum nge-save satupun kontak anak panwas, termasuk gue. Ini aja dia datang karena gue SMS terus-terusan, Sya. Ya udahlah, kita lihat aja ke depannya. Dia bakal megang omongannya apa enggak.” Pungkasku kemudian. Syahnaz hanya mengangkat kedua tangannya setinggi bahu.

Hari ini adalah hari ketujuh masa kampanye ketiga pasang kandidat Capres dan Cawapres Mahasiswa. Aku dan tim sudah bersiap standby di fakultas yang sudah kami bagi-bagi. Aku bertugas di Fakultas Psikologi dengan beberapa rekan tim-ku, disana juga terdapat Galih. Dia mengajukan diri kepadaku untuk membantu mengomando tim dalam pelaksanaan tugas di lapangan, aku mengizinkan dia untuk mem-brief rekan-rekan tim. Sebelum kampanye dimulai, dia mulai membuka forum. Kami berlima pun melingkar menghadap kepadanya sebagai koordinator lapangan saat itu.

Aku memperhatikan gerak-geriknya dengan seksama. Tanpa sadar, aku mengamati parasnya yang tidak terbilang biasa. Tubuhnya yang jenjang dengan rambut ikal dan kulitnya yang bersih, mata yang besar dengan sorot yang tajam, jari-jemari panjangnya menghiasi lengan yang selalu digerak-gerakkan ketika menjelaskan sesuatu kepada kami. Kharismanya memancar begitu saja, dia juga mewanti-wanti kepada kami agar selalu meluruskan niat dalam kepanitiaan ini. Yakni semata-mata menegakkan keadilan dalam rangkaian Pemilihan Raya Mahasiswa ini, serta mengharapkan balasan dan Ridha Allah SWT semata.

“Sekian sedikit sumbangsih pemikiran dari saya, saya kembalikan kepada ketua kita. Reina Salsabila, silahkan jika ingin menambahkan.” Ucap Galih mengakhiri brief-nya. Aku masih belum  menyadari kalimat terakhir Galih.

“Re.. Re..” Sambung Galih sembari mengibas-ibaskan tangannya di hadapan wajahku.

“Eh.. I, iya. Sudah cukup yang barusan. Silahkan langsung ditutup saja dan kita lanjut ke agenda inti.” Ucapku gugup yang langsung tersadar, teman-teman yang lain menatapku heran. Aduh, kenapa jadi begini sih? Ada apa denganku? Hhhh, pasti pipiku sudah memerah nih. Batinku

Kulirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kiriku, tanpa terasa waktu sudah menunjukkan pukul lima sore. Artinya kami harus segera ke sekre untuk melaksanakan evaluasi, dan dilanjut rapat umum bersama Panitia Penyelenggara Umum. Aku dan Syahnaz mempercepat langkah, di depan ruang sekre kulihat sosok Galih sudah berada disana. Di tangannya ada sebuah buku yang sedang dibaca, sekilas kulihat cover-nya berjudul ‘Kota Roma Menanti Anda’. Hmm, berbobot juga bacaannya. Ujarku dalam hati.

“Assalamu’alaikum.” Sapaku kepada Galih yang tampak sudah menunggu lama disana.

“Wa’alaikumussalam” Jawabnya dengan sedikit mengalihkan pandangan ke arah kami.

“Sudah lama menunggu, Kang?” Sambungku sedikit berbasa-basi

“Lumayan. Teman-teman yang lain belum pada datang ya?” Tanyanya tanpa mengalihkan tatapan dari bukunya.

“Iya, beberapa ada yang konfirmasi telat karena baru selesai kuliah dan praktikum jam lima tepat. Mari, Kang. Bisa tunggu di dalam.” Sahutku sambil berlalu ke dalam sekre. Galih belum beranjak sedikitpun dari tempatnya, mungkin karena kami perempuan dan dia laki-laki seorang diri. Aku pun langsung menyalakan laptop, Syahnaz langsung sibuk dengan cemilannya seperti biasa.

Rapat pun usai, aku telah menerima beberapa laporan dugaan pelanggaran yang dilakukan salah satu pasangan kandidat. Dalam rapat tadi, Galih banyak memberikan analisis yang menurutku tajam dan sangat mencerdaskan, dia juga menjelaskan isi undang-undang pemilu kampus dengan sangat lugas dan tegas. Ternyata dia sudah dua kali berpengalaman dalam kepanitiaan yang serupa, dia juga seringkali menambahkan analisis politis yang begitu mencerahkan. Rata-rata kami angkatan 2010, hanya Galih dan Mbak Nia yang lebih tua satu angkatan diatas kami. Akhirnya rapat yang dinamis tersebut berakhir pukul delapan malam. Aku dan Syahnaz memutuskan untuk menginap kembali di kostan sahabat kami, karena waktu sudah cukup malam bagi seorang perempuan untuk berperjalanan.

Sesampainya di kost-an teman, kami langsung merebahkan diri. Rasanya lelah dan penat sekali tubuh ini.

Ciee, Rere. Kayaknya tatapan loe ke Galih tadi, beda deh.. Hehehe.” Syahnaz mulai menggodaku, sejak SMP dia sering memanggil dengan nama kecilku.

“Apaan sih, Sya. Biasa aja, kok. Kilahku

“Rere, gue ini sahabat loe dari SMP. Gue tahu banget gimana ekspresi loe kalau lagi suka sama seseorang, gini-gini gue lebih ngerti loe daripada ibumu sendiri.. Hihi.” Syhnaz semakin menjadi-jadi.

“Apaan sih, Sya. Enggak ya, loe mulai deh sok tahunya.” Kilahku dengan wajah sedikit memerah.

“Hahaha. Ya, kan?” Syahnaz mulai mencolekku. Aku menggeliat dan balas mencubitnya

“Udah ah, Sya. Gue ngantuk, mau tidur. Bye.”

Empunya kamar pun datang dan hanya menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah laku kami.

***

Keesokan harinya, Pemilihan Raya Mahasiswa pun digelar. Beberapa hari setelahnya, suasana di lapangan tampaknya agak chaos, tim sukses dari salah satu pasangan calon mengajukan gugatan kepada Panitia Penyelenggara Umum. Mereka ingin menuntut pasangan kandidat lain yang disinyalir melakukan kecurangan berupa melakukan kampanye diluar waktu yang telah ditetapkan. Tidak lupa mereka membawa barang bukti berupa poster-poster kampanye yang mereka ambil dari lokasi, disana juga tidak terdapat stempel pengesahan. Selain itu, mereka menyertakan screenshot kampanye terselubung di sosial media.

Akhirnya kami menggelar persidangan terbuka yang mengundang ketiga pasangan kandidat, para tim sukses, Panitia Penyelenggara Umum, dan seluruh elemen mahasiswa. Hari-hari yang melelahkan kami jalani, siang malam aku menghabiskan hampir seluruh waktuku untuk berada di kampus. Galih dan Syahnaz selalu membantuku dalam berargumen dan memberikan pandangan-pandangan, khususnya mengenai hal-hal yang cukup krusial di forum. Syahnaz memang selalu on fire, dia punya kecerdasan di atas rata-rata dalam menganalisa banyak hal. Tidak jarang, mereka juga berdebat dalam hal yang bersebrangan pendapatya. Hari-hari yang melelahkan itu juga ditambah dengan suasana Ujian Tengah Semester yang harus aku jalani. Hasil dari persidangan tersebut, kami terpaksa mendiskualifikasi salah satu pasangan kandidat yang dinilai  terbukti melakukan pelanggaran.

Suatu ketika di senja hari, aku dan sahabatku Syahnaz tengah makan di salah satu kantin kampus. Tidak lama berselang setelah pesanan kami datang, kami didatangi oleh sekelompok perempuan dan laki-laki. Mereka melabrakku dan membentak dengan kata-kata kasar. Salah satu dari mereka menendang kursi yang berada di dekat kami. Aku sangat shock, Syahnaz membalas perkataan kasar mereka dengan kata-kata yang lugas namun tidak terbawa emosi. Kami menjadi perhatian semua orang yang berada di kantin, satu-persatu pengunjung lain mulai meninggalkan tempat. Rupanya yang melabrakku merupakan dari tim sukses yang didiskualifikasi, dan tidak terima atas putusan kami. Seorang perempuan berbadan gempal merangsek kerudungku, teman-temannya yang lain terus berceracau meminta agar aku mencabut keputusan tersebut. Tidak lama kemudian tiga orang ikhwan datang dan membela aku serta Syahnaz yang tersudutkan.

“Hentikan! Apa yang kalian lakukan? Beraninya Cuma sama perempuan!” Hardik Galih, yang seketika memberiku isyarat untuk menjauh dari mereka.

Galih bersama dua orang rekannya yang ternyata aktivis Lembaga Dakwah Kampus (LDK) ‘menyelamatkan’ kami berdua, aku sangat shock dan hamper menangis. Sekelompok orang yang melabrakku tadi akhirnya pergi.

“Kalian berdua tidak apa-apa?” Tanya salah seorang teman Galih, yang bernama Ridwan.

Alhamdulillah tidak apa-apa, Kang.” Jawabku gemetaran.

“Ini sudah lewat magrib, sebaiknya kalian segera pulang. Tapi lebih baik tidak pulang ke rumah dulu, khawatir mereka mencegat kalian di jalan. Menginaplah di asrama putri sekitar sini, biar kami mengawal agak jauh di belakang.” Ucap Galih dengan sangat menetramkan. Aku dan Syahnaz menurut, dan segera pulang ke kost-an teman kami.

Malam pun tiba, tiba-tiba HP-ku bergetar. Ada pesan masuk dari Galih. ‘Assalamu’alaikum. Istirahatlah, perbanyak dzikir dan mengingat Allah’. Dengan segera aku mengetikkan balasan singkat, ‘Insya Allah. Terima kasih atas bantuannya.’

Keesokan harinya, Galih memberikan analisa-analisa mengenai kejadian kemarin via pesan singkat kepadaku. Aku sependapat dengannya. Lama-lama aku penasaran, siapa sesunggunya sosok Galih ini. Segera kunyalakan laptop dan mencari tahu akun sosial medianya. Rupanya dia adalah ketua Himpunan Mahasiswa Hubungan Internasional yang pernah melakukan pertukaran ke Inggris, ayahnya seorang mantan duta besar Perancis. Galih juga ternyata aktivis Lembaga Dakwah Kampus, sama sepertiku. Dia merupakan seseorang yang hijrah dari kebiasaan-kebiasaan jahiliyah-nya di masa lalu. Tanpa sadar aku berdecak kagum. Tiba-tiba Syahnaz mengagetkanku dari belakang, dan memergokiku sedang stalking mengenai Galih.

“Doorr!! Hayo, lagi ngapain?”

Astaghfirullah, Syaaa. Jangan bikin gue jantungan napa?” Teriakku kepadanya dan spontan menutup layar laptopku sebelum ketahuan. Hihi.

“Re, ngomong-ngomong kemarin si Galih heroik juga ya.” Tiba-tiba Syahnaz bersemangat membahas Galih. Tanpa sadar ada getaran halus ketika mendengar namanya disebut.

“Iya, gue gak bisa bayangin gimana nasib kita kalo gak ada mereka.” Jawabku sambil sedikit tersipu.

Seminggu kemudian, kami berkumpul kembali dengan seluruh tim dan panitia penyelenggara untuk mengadakan penghitungan suara. Galih duduk tepat di sebrangku, entah mengapa aku tidak berani menatap wajahnya. Ya Allah, tolong jaga hatiku ini. Jangan biarkan perasaan yang tidak seharusnya menjalari akal pikiranku. Seolah membaca kegelisahanku, Syahnaz mencubit ringan lenganku sambil mesem-mesem. Aku membalas cubitannya agak keras. Hampir saja Syahnaz berteriak kesakitan dan mengacaukan forum, tapi aku melepaskan cubitanku. Dia terkekeh.

Sore hari pun tiba, sebelum pulang Syahnaz mengajakku untuk mentraktir makan di sebuah kafe dekat kampus. Saat sedang makan, Syahnaz izin ke toilet dan menitipkan HP-nya kepadaku. Tiba-tiba ada sebuah pesan masuk, terlihat dari pop up layar kalau pengirimnya adalah Galih. Tanpa sengaja aku juga membaca isi pesannya dari baris pop up layar tersebut.

            Di tengah gelapnya gulita malam dan pekatnya lumpur hitam

            Aku tak mampu melihat indahnya dunia

            Otak membeku, mulut membisu. Tak jelas lagi mana yang benar dan salah

            Namun di tengah gelapnya gulita malam, aku melihat secercah cahaya

           Cahaya yang memancarkan kilau mutiara, mutiara di tengah pekatnya lumpur hitam

          Ingin rasanya kumiliki mutiara yang indah itu, agar tak kelam lagi hidupku dan penuh arti

            Lututku rasanya lemas, nafsu makanku hilang. Syahnaz pun kembali, aku bersikap seolah tidak tahu apa-apa. Ia membuka HP-nya dan membaca pesan itu, kemudian terdiam dan sesekali mencuri pandang kepadaku. Sepanjang perjalanan pulang kami saling terdiam, tidak seperti biasanya. Mungkin Syahnaz ingin menjaga perasaanku dengan tidak menceritakan isi pesan itu kepadaku.

Setibanya di rumah, aku menghempaskan diri ke tempat tidur dan membenamkan wajahku ke bantal. Air mataku tumpah, isak tangisku pecah. Ya Allah, baru kali ini aku jatuh cinta pada seseorang, namun dia lebih memilih sahabatku? Beberapa hari ke depannya, aku dan Syahnaz tetap bercengkrama seperti biasa, kami tidak mau menyinggung sedikitpun tentang lelaki itu. Dan hari-hari terus kami lalui dengan canda tawa.

Setahun kemudian, sepucuk surat undangan berwarna pink mendarat di tanganku : SYAHNAZ dan GALIH. Kini tak ada lagi air mata, kekecewaan ataupun kecemburuan, aku segera terbang ke rumah sahabatku itu, dan ingin meminta klarifikasi langsung padanya. Ketika aku datang, Syahnaz langsung cekikikan dan memasang kuda-kuda jika aku akan mencubitnya seperti dulu.

“Sya, Sya. Sebenernya gue udah curiga, tapi pura-pura gak tahu aja.” Ujarku

“Hihi.. Maafin gue ya sahabatku sayang, habisnya gue gak bisa nolak pas dia sama keluarganya datang meng-khitbah gue. Gue lihat, loe juga gak ada aksi apa-apa, jadi sorry ya. Pangeran gantengnya buat gue dulu. Hehehe” Sahutnya sambil tetap cekikikan.

“Iya, gue juga udah ikhlas kok. Gue sadar kalau gue belum siap nikah, makanya gue Cuma nitipin hati ini sama sang pemilik cinta. Gue juga udah siap jika suatu saat hal yang gue takutkan selama ini bakalan terjadi. Selamat ya, Sya. Semoga loe bahagia sama Galih.” Ujarku sambil memeluk erat sahabatku.

Hari pernikahan sahabatku akhirnya tiba, ia sangat manis dalam balutan gaun dan kerudung berwarna peach. Kami berpelukan penuh haru dan bahagia, semoga pernikahan ini bisa membawa kalian sampai surga.

Satu respons untuk “Kurelakan dia Demi Sahabatku

Tinggalkan komentar